Bagi para kritikus film, tak sulit untuk
mengenali “Iron Man 3” sebagai film karya Shane Black. Yang menarik,
film ini juga berlatar Natal. Tapi, meski banyak dianggap sebagai bagian
dari sentuhan personal Black, ia justru menyangkal bahwa latar Natal
ini merupakan idenya. Lalu ide siapa itu?
Film “Iron Man 3” (2013) merupakan usaha Marvel Studios untuk melakukan lompatan liar dan membuat sesuatu yang sangat tidak terpikirkan. Judul film ketiga secara tradisional sering dianggap sebagai penutup sebuah trilogi, sehingga dengan meningkatnya dana pembuatan dan ekspektasi penonton, biasanya kontrol ketat dari studio pembuatnya akan semakin kencang. Tapi, tak ingin jatuh pada jebakan yang sama dengan film-film lain, Presiden Marvel Studios, Kevin Feige, justru merekrut Shane Black sebagai sutradara.
Shane Black yang pernah menjadi salah satu penulis naskah paling mahal di Hollywood hanya pernah menyutradarai satu film sebelumnya. Tapi, melalui film “Kiss Kiss Bang Bang” (2005) yang dibintangi oleh Robert Downey, Jr. tanpa disadari banyak orang, kolaborasi ini juga ikut terbawa dalam proyek Iron Man milik Marvel. Tak heran, setelah beberapa tahun menjadi konsultan di belakang layar, Black akhirnya diberi kesempatan untuk kembali memoles karakter Tony Stark. Kali ini, di kursi sutradara.
Bagi para kritikus film, tak sulit untuk mengenali “Iron Man 3” sebagai film karya Black. Dialog cepat yang cerdas, kolaborasi antara Tony Stark dan James Rhodes (Don Cheadle) yang mengingatkan pada buddy comedy tahun ‘80-an, musik yang sedikit nyentrik, serta struktur cerita yang melompat-lompat dapat kita temui dalam film-film terdahulunya. Selain itu, “Iron Man 3” juga berlatar Natal. Tapi, meski banyak dianggap sebagai bagian dari sentuhan personal Black, ia justru menyangkal bahwa latar Natal ini merupakan idenya. Lalu ide siapa itu? Ternyata, semua itu datang dari Drew Pearce, yang berbagi credit dengan Black sebagai penulis naskah film ini.
“Ya, anehnya ini tiba-tiba berkembang saja di “Iron Man 3”, karena saya sudah menentangnya. Justru, Drew yang mengajarkan pada saya … saya pikir ini berkaitan dengan Anda membuat sesuatu dalam skala yang menarik dan melibatkan karakter-karakter dalam sebuah semesta, salah satu cara untuk menyatukan mereka adalah dengan membuat mereka merasakan sebuah pengalaman yang umum bersama,” kata Black. “Ada sesuatu di hari Natal yang menyatukan semua orang dan ini sudah merupakan sebuah cerita dalam cerita, ketika dimanapun Anda berada, Anda mengalami hal ini bersama-sama. Saya pikir buat saya juga ada sesuatu yang menyenangkan tentangnya [Natal]. Maksud saya, saya membuat “Lethal Weapon” di tahun ’87 dan Joe [John McTiernan] sangat menyukainya sehingga dia membuat “Die Hard” berlatar Natal dan itu merupakan hal yang menyenangkan.”
Bila dielaborasi lebih lanjut, penggunaan latar Natal ini digunakan oleh Black dan Pearce sebagai alat untuk menampilkan emosi yang lebih dalam di masa-masa refleksi diri. Terlebih, bila Anda masih ingat, Yinsen pernah berkata pada Tony Stark di film “Iron Man” (2008), “So you’re a man who has everything, and nothing.
“Ada sesuatu tentang Natal juga, seperti ketika Anda menceritakan sebuah kisah yang membuat karakter-karakternya terpisah, hal ini terasa lebih punya gaung bila Anda membuatnya dengan latar Natal, dan juga kalau Anda sedang bercerita tentang seseorang karakter yang kesepian. Kesepian itu makin dikuatkan saat Natal,” ujar Pearce.
Bila semua ini mengingatkan Anda pada sosok Ebenezer Scrooge yang sendirian menjelang hari Natal dalam cerita “A Christmas Carol”, kecurigaan Anda sebenarnya beralasan. Tahukah Anda bahwa kehadiran sosok Harley Keener (Ty Simpkins) si bocah laki-laki dalam “Iron Man 3” dibuat sebagai representasi akan masa lalu Stark?
“Dalam hal ini, Harley semacam penggambaran dari dirinya [Stark] saat masih kecil, dan tiba-tiba menemukan ini semua datang kembali padanya hampir seperti sebuah mimpi buruk ketika ia berada dalam titik terendah hidupnya,” ungkap Black.
Baik Harley maupun Stark memiliki kemiripan yang membuat interaksi antara keduanya terlihat seperti semacam usaha Stark untuk menggapai ke masa lalu dan mencoba untuk menghibur sekaligus menguatkan dirinya sendiri untuk menghadapi kepahitan hidup yang telah dirasakannya.
Tanpa bermaksud menyodorkan potongan cerita yang mentah-mentah dilemparkan sebagai sebuah refleksi, Black dan Pearce mampu menenun sebuah cerita yang begitu personal dan menyentuh di jantung sebuah summer blockbuster. Untuk hal itu saja, usaha Marvel Studios patut diapreasiasi.
Post a Comment